Rabu, 11 April 2012

Prestasi Kerja

Prestasi kerja merupakan salah satu kajian ilmu psikologi, karena itu situs belajar psikologi sedikit berbagi mengenai teori psikologi: Prestasi Kerja. Prestasi kerja sendiri merupakan ukuran keberhasilan atau kesuksesan seseorang karyawan. Karyawan itu sendiri dalam melaksanakan tugas atau pekerjaan selalu ingin mengetahui hasilnya baik atau buruk, dan ada kemajuan atau kemunduran. Stress tidaknya seorang karyawan dalam bekerja akan dapat diketahui apabila perusahaan atau orang yang bersangkutan menerapkan system penilaian prestai kerja. Jadi prestasi kerja merupakan hal yang penting bagi perusahaan atau organisasi, serta dari pihak karyawan sendiri.

Rao ( 1986) mengatakan bahwa prestasi suatu perusahaan tidak dapat dilepaskan dari prestasi kerja setiap individu yang terlibat didalamnya. Hal ini berarti bahwa tercapainya tujuan yang telah diterapkan oleh perusahaan banyak trgantung pada kerja karyawannya.

Prestasi kerja berkaitan dengan tujuan dalam arti sebagai suatu hasil dari perilaku kerja seseorang. Prestasi diberikan batasan sebagai hasil dari pola dua tindakan yang dilakukan untuk mencapai tujuan sesuai dengan standar yang ditetapkan, baik kualitas maupun kuantitas (Anoraga,1992)

Definisi prestasi kerja menurut Baskorowati (1987) adalah hasil atau taraf kesuksesan yang dicapai seseorang dalam melaksanakan pekerjaannya, menurut criteria yang berlaku untuk pekerjaan tertentu. Selanjutnya Sudita (1989) menyatakan prestasi kerja erat kaitannya dengan pengembangan potensi yang ada pada manusia menjadi usaha yang efektif untuk mencapai tujuan. Pengembangan sumberdaya manusia bertujuan untuk menjadikan manusia lebih produktif, kreatif dan professional.

Tingkat tinggi rendahnya hasil kerja yang dihasilkan oleh karyawan dalam pekerjaannya sering dinamakan prestasi kerja. Secara lebih jelas yang dimaksud dengan prestasi kerja adalah hasil kerja yang dicapai oleh tenaga kerja atau karyawan dalam melaksanakan tugas dan pekerjaan yang dibebankan kepadanya. (Handoko,1987)). Jadi prestasi kerja merupakan hasil kerja dari suatu pelaksanaan pekerjaan yang dibebankan kepada karyawan tersebut. Ghiselli (dalam Munandar,1988) menyatakan yang dimaksud prestasi kerja adalah hgasil pelaksanaan kerja yaitu sejauh mana karyawan dapat berhasil dalam malaksanakan pekerjaanya atau sejauh mana kamajuan yang dicapai dalam bekarja.

Kastartini (1971), prestasi kerja adalah kesanggupan untuk melaksanakan pekerjaan sesuai dengan waktu yang ditentukan, bermutu dan tepat mengenai sasarannya. Untuk menilai mutu tidaknya suatu hasil pekerjaan dapat dilihat dari jumlah kekurangan kesalahan dari hasil kerja.
Berdasarkan beberapa pendapat diatas dapat diambil kesimpulan bahwa prestasi kerja kemauan atau hasil kerja yang dapat dicapai seseorang dalam melaksanakan pekerjaan tertentu dan dalam jangka tertentu bertdasarkan criteria atau patokan yang berlaku untuk jenis pekerjaan tertentu.

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Prestasi Kerja
setiap indifidu dilahirkan dengan sejumlah keburukan, tujuan, keinginan dan dorongan dasar. Manusia mengalami perubahan diri berdaarkan pada pengalaman,latihan, belajar, serta interaksi dengan lingkungan kebutuhan-kebutuhan manusiabaik fisik, social dan psikologis sebagian besar dapat dipengaruhi dalam dunia kerja yang dihadapkan dengan pepentingan, sasaran dan tujuan perusahaan. Hal ini akan mempengaruhi terhadap perilaku kerja.

Harapan bagi setiap orang adalah sukses atau berhasil dalam melaksanakan setiap aktifitas yang dilakukan belum tentu memuaskan, hal ini disebabkan kesuksesan atau keberhasilan seseorang dipengaruhi oleh beberapa factor. Mangkunegara (1984) bahwa factor-faktor yang dapat mempengaruhi seorang dalam meraih kesuksesan disamping factor kepercayaan pada diri sendiri, factor kecerdasan juga sangat berperan. As’ad (1992) factor-faktor yang dapat menyebabkan perbedaan dalam meraih keberhasilan atau prestasi kerja adalah adanya perbedaan cirri-ciri personal kepribadian, pengetahuan mengenai pekerjaan, motivasi interest dan lain sebagainya.

Kartini (1981) mengatakan bahwa faktor yang mempengaruhi prestasi kerja adalah yang menyangkut masalah perhatian dari atasan, keinginan untuk berprestasi aktif dalam pencapaian tujuan perusahaan serta dalam bekerja dalam satu tim yang kompak. Manullang (1984) berpendapat bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi kerja adalah keadaan fisiknya, seperti ketajaman penglihatan, kekuatan fisik dan lain-lain yang berkaitan dengan tugas yang dihadapi. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi prestasi kerja menurut Kasijan (1982) ada dua golongan. Yaitu 1) factor yang ada pada diri karyawan yang meliputi keadaan fisik dan kesehatan, kepribadian, bakat, motivasi dan interest. 2) faktor yang berasal dari luar diri karyawan seperti keadaan alam, iklim, pendapat-pendapat baru atau system perundang-undangan.

Berdasarkan uraian dari pendapat diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa faktor-faktor yang dapat mempengaruhi prestasi kerja antara lain faktor personal terdiri dari kepercayaan diri sendiri, faktor kecerdasan, keadaan fisik dan kesehatan, kepribadian, bakat, dan interest, kemampuan, ketrampilan, persepsi terhadap peran dan faktor sikap, serta faktor motivasi dan untuk faktor non-personal terdiri dari keadaan alam, iklim, pendapat-pendapat baru atau system perundang-undangan.


Tujuan Penilaian Prestasi Kerja
pada dasarnya penilaian prestasi kerja bertujuan mengidentifikasikan sumbangan-sumbangan yang diharapkan dari setiap karyawan. Ghiselli & Brown (dalam As’ad,1991) mengatakan bahwa penilaian atau pengukuran hasil kerja sangat penting itu bertujuan untuk :
a. untuk mengukur prestasi kerja, yaitu sejauh mana karyawan dapat sukses dalam melaksanakan pekerjaanya.
b. Untuk melihat seberapa jauh kemajaun dalam latihan.
c. Sebagai data yang digunakan untuk bahan pertimbangan apabila ada promosi bagi karyawan yang bersangkutan.

Haris (1984) mengatakan baha pada dasarnya penilaian prestasi kerja ini bertujuan mengidentifikasikan sumbangan-sumbangan yang diharapkan dari setiap karyawan. Beberapa ahli yang berkecimpung pada bidang perilaku manusia dalam organisasi, telah merumuskan beberapa tujuan. Adapun tujuan penilaian prestasi kerja secara garis besar dapat dikelompokkan sebagai berikut :
A. Tujuan Administrasi. Hasil yang diperoleh dari program penilaian prestasi kerja dapat digunakan untuk keperluan administrasi peruasahaan. Penilaian prestasi kerja merupakan komponen yang penting dalam proses administrasi karyawan. Data-data yang digunakan dari penilaian prestasi kerja dapat digunakan sebagai bahan untuk memilih atau menentukan karyawan yang perlu dipromosikan, dipindah dan diberhentikan sementara atau diberhentikan seterusnya. Hasil penilaian juga digunakan sebagai dasar pertimbangan metode pengujian, pengupahan dan pemberian bonus.
b. Tujuan Pengembangan. Kecenderungan program penilaian prestasi kerja yang dilaksanakan oleh beberapa perusahaan dewasa ini mengarah pada usaha-usaha pengembangan karyawan.. penilaian prestasi kerja memberikan informasi mengenai kekuatan dan kelimahan karyawan dalam melaksanakan pekerjaannya. Informasi tersebut selanjutnya dapat digunakan dalam penyusunan program pelatihan untuk memperbaiki prestasi kerja bagi karyawan yang berprestasi rendah, dan meningkatkan motivasinya. Data-data hasil penilaian prestasi kerja dapat juga digunakan sebagai dasar pertimbangan untuk mengembangkan system umpan balik terhadap karyawan dan menentukan kebutuhan konseling bagi karyawan.
c. Tujuan Penelitian. Usaha-usaha perbaikan dan pengembangan efektifitas metode dan pelengkapan kerja, serta kondisi yang dapat dicapai salah satunya dengan memanfatkan informasi yang diperoleh dari penilaian prestasi kerja. Selain itu juga dapat digunakan sebagai dasar untuk mengefaluasi validitas system seleksi, perekutan karyawan dan program pelatihan yang telah dilaksanakan sebelumnya.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa tujuan dari penilaian prestasi kerja karyawan adalah untuk mengetahui potensi dan mengembangkan karier karyawan serta mengambil keputusan tentang promosi dan gaji, dapat memberikan kesempatan baik bagi atasan maupun bawahan untuk bersama-sama meninjau hubungan kerja diantara karyawan dan pimpinan. Penilaian hasil kerja dapat digunakan untuk mengidentifikasikan ketidak efisienan masalah pekerjaan yang mungkin timbul dalam perusahaan.


Aspek-aspek Penilaian prestasi kerja
Untuk mengetahui sampai sejauh mana prestasi yang diperoleh karyawan, maka perlu adanya suatu system penilaian. Hal ini dimaksud untuk mengukur dan menghargai perilaku karyawan yang mendukung tercapainya tujuan organisasi. Tiffin dan Mc Cormick (Minidiharjo,2001) memberi batasan, bahwa penilaian prestasi kerja sebagai penilaian karyawan yang dilakukan secara sistematik oleh pengawas atau orang lain yang mengetahui prestasi kerja. Gibson (Anoraga,1992) mendefinisikan penilaian prestasi kerja dengan hak untuk tetap bekerja, pemberhentian, promosi, penurunan jabatan, pemindahan, kenaikan atau pengurangan gaji atau pemasukan karyawan kedalam program pelatihan.
Handoko (1983), berpendapat bahwa prestasi kerja adalah suatu proses yang menilai proses tersebut adalah organisasi dan organisasi yang mengefaluasi atau menilai penilaian prestasi kerja karyawan. Suntoro (1998) memberi definisi penilaian prestasi kerja sebagai pengembangan secara sistematis mengenai kekuatan dan kelemahan karyawan dalam melaksanakan tugas secara individual yang digunakan untuk mengevaluasi efektifitas pekerjaannya.
Menurut Meier (As’ad,1992) aspek yang bisa digunakan untuk mengukur prestasi kerja adalah : kualitas, kuantitas, waktu yang dipakai, jabatan yang dipegang, absensi, keselamatan dalam menjalankan tugas pekerjaan.
Anaraga (1992), criteria-kriteria yang digunakan untuk memajukan prestasi kerja karyawan atau pegawai yaitu :
a. Mutu kerja, ketepatan, ketrampilan, ketelitian, kerapian.
b. Kualitas kerja, keluaran, tidak hanya mempertimbangkan tugas-tugas regular, tetapi juga berapa cepat karyawan menyelasaikan tugas-tugas ekstra atau mendesak.
c. Ketangguhan mengikuti perintah, kebiasaan, keselamatan (sefty) yang baik, inisiatif, ketepatan waktu dan kehadiran.
d. Sikap terhadap perubahan pekerjaan, teman sekerja dan kerjasama.
Siagian (1995) mengatakan bahwa aspek-aspek dalam penilaian prestasi kerja antara lain yaitu :
a) Manusianya. Yang dinilai adalah menusia, yang mana memiliki kemampuan tertentu, namun ia juga luput dari berbagai kelemahan dan kekurangan.
b) Adanya tolok ukur. Penilaian memerlukan tolok ukur yang realistic. Hal ini berkaitan langsung dengan tugas seseorang dan criteria yang ditetapkan atau diterapkan secara objektif.
c) Penilaian sebaiknya dilakukan secara berkala. Hasil penelitian itu di dokumentasikan dengan rapi dalam arsip kepegawaian yang memuat semua karyawan. Jadi informasi yang ada tidak hilang.
d) Bahan pertimbangan. Hasil prestasi kerja setiap karyawan menjadi bahan yang selalu turut dipertimbangkan dalam setiap keputusan yang diambil oleh perusahaan, misalnya mutasi pegawai atau dalam pemberhentian kerja yang tidak ada perintah sendiri.

Berdasarkan uraian-uraian dan pengertian diatas dapat ditarik kesimpulan aspek-aspek penilaian prestasi kerja antara lain yaitu kualitas, kuantitas, waktu yang dipakai jabatan yang dipegang, keselamatan dalam menjalankan tugas pekerjaan, berapa cepat karyawan menyelasaikan perintah, kebiasaan, keselamatan (safty) yang baik, inisiatif, ketepatan waktu dan kehadiran, sikap terhadap perubahan pekerjaan, teman sekerja dan minat kerja.

LOYALITAS KERJA

secara umum loyalitas dapat diartikan dengan kesetiaan, pengabdian dan kepercayaan yang diberikan atau ditujukan kepada seseorang atau lembaga, yang didalamnya terdapat rasa cinta dan tanggung jawab untuk berusaha memberikan pelayanan dan perilaku yang terbaik (Rasimin,1988). Hal ini selaras dengan pernyataan yang dikemukakan oleh Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990) yang menyatakan bahwa loyalitas adalah kesetiaan, kepatuhan dan ketaatan.Barrold (Muhyadi,1989) mengemukakan bahwa loyalitas adalah kemauan bekerja sama yang berarti kesediaan mengorbankan diri, kesediaan melakukan pengawasan diri dan kemauan untuk menonjolkan kepentingan diri sendiri. Kesediaan untuk mengorbankan diri ini melibatkan adanya kesadaran untuk mengabdikan diri kepada perusahaan. Pengabdian ini akan selalu menyokong peran serta karyawan dalam perusahaan.

Steers & Porter (1983) berpendapat bahwa pertama, loyalitas kepada perusahaan sebagai sikap, yaitu sejauh mana seseorang karyawan mengidentifikasikan tempat kerjanya yang ditunjukan dengan keinginan untuk bekerja dan berusaha sebaik-baiknya dan kedua, loyalitas terhadap perusahaan sebagai perilaku, yaitu proses dimana seseorang karyawan mengambil keputusan pasti untuk tidak keluar dari perusahaan apabila tidak membuat kesalahan yang ekstrim.

Resimin (1988) mengemukakan pengertian loyalitas sebagai keterikatan yaitu identifikasi psikologi individu pada pekerjaannya atau sejauh mana hubungan antara pekerjaan dan perusahaan tersebut dirasa sebagai total self image bagi dirinya dalam perusahaan, yang dapat disebut aktifitas-aktifitas masa lalu dalam perusahaan. Juga kesamaan tujuan antara individu dengan perusahaan. Pengalaman masa lalu dalam perusahaan akam mempengaruhi persepsi karyawan dalam pekerjaan dan perusahaan. Hal-hal yang terjadi terutama yang berhubungan dengan diri karyawan akan mempengaruhi persepsi karyawan terhadap perusakan. Demikian juga kesamaan tujuan antara karyawan dengan perusahaan akan sangat memberi nilai tersendiri terhadap keberadaanya di perusahaan tersebut.
Kerja adalah suatu cara untuk memusatkan kebutuhan secara bertingkat (Rasimin,1988) artinya berbagai macam kebutuhan yang ada dalam diri individu akam di pengaruhi dengan cara bertahap, tidak secar bersama. Sesuai dengan teori Maslow, kebutuhan yang sudah terpenuhi akan berlanjut untuk memenuhi kebutuhan selanjutnya, sedangkan Ghiselli &

Brown (Kadarwati,2003) menyatakan bahwa kerja adalah aktifitas fiski, psikis maupun social yang mengarah pada tujuan tertentu.

Berdasarkan uraian diatras dapat disimpulkan bahwa lolayitas kerja adalah suatu keadaan aktivitaa yang menyangkut fisik, psikis dan social yang membuat individu mempunyai sikap untuk menaati peraturan yang ditentukan, melakukan dan mengamalkan sesuatu yang ditaatinya dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab identifikasi personal terhadap upaya pencapaian tujuan perusahaan sesuai keahliannya sehingga peningkatan efektifitas perusahaan dan disertai dengan pengabdian yang kuat.

Aspek-aspek loyalitas kerja
Loyalitas kerja tidak terbentuk begitu saja dalam perusahaan, tetapi ada aspek-aspek yang terdapat didalamnya yang mewujudkan loyalitas kerja. Masing-masing aspek merupakan bagian dari manajemen perusahaan yang berkaitan dengan karyawan maupun perusahaan.

Steers & Porter (1983) mengemukakan aspek-aspek loyalitas yang berhubungan dengan sikap yang akan dilakukan karyawan, dan merupakan proses psikologis terciptanya loyalitas kerja dalam perusahaan, antara lain :
a. Dorongan yang kuat untuk tetap menjadi anggota perusahaan, kekuatan aspek ini sangat dipengaruhi oleh keadaan individu, baik kebutuhan, tujuan maupun kecocokan individu dalam perusahaan.
b. Keinginan untuk berusaha semaksimal mungkin bagi perusahaan. Kesamaan persepsi antara karyawan dan prusahaan dan yang didukung oleh kesamaan tujuan dalam perusahaan mewujudkan keinginan yang kuat untuk berusaha maksimal, karena dengan pribadi juga perusahaan akan terwujud.
c. Kepercayaan yang pasti dan penerimaan yang penuh atas nilai-nilai perusahaan. Kepastian kepercayaan yang diberikan karyawan tercipta dari operasional dari perusahaan yang tidak lepas dari kepercayaan perusahaan terhadap karyawan itu sendiri untuk melaksanakan pekrjaannya.

Aspek-aspek loyalitas kerja yang lain terdapat pada individu dikemukakan oleh Siswanto (1989), yang menitik beratkan pada pelaksanaan kerja yang dilakukan karyawan antara lain. :
a. taat pada peraturan
karyawan mempunyai tekat dan kesanggupan untuk menaati segala peraturan, perintah dari perusahaan dan tidak melanggar larangan yang telah ditentukan baik secara tertulis maupun tidak tertulis. Peningkatan ketaatan tenaga kerja merupakan priorotas utama dalam pembinaan tenaga kerja dalam rangka peningkatan loyalitas kerja pada perusahaan.
b. Tanggung jawab
Karakteristik pekerjaan dan prioritas tugasnya mempunyai konsekuensi yang dibebankan karyawan. Kesanggupan karyawan dalam melaksanakan pekerjaan dengan sebaik-baiknya dan kesadaran setian resiko melaksanakan tugas akan memberikan pengertian tentang keberanian dan kesediaan menanggung rasa tanggung jawab ini akan melahirkan loyalitas kerja. Dengan kata lain bahwa karyawan yuang mempunyai loyalitas yang tinggi maka karyawan tersebut mempunyai tanggung jawab yang lebih baik.
c. Sikap kerja
Sikap mempunyai sisi mental yang mempengaruhi individu dalam memberikan reaksi terhadap stimulus mengenai dirinya diperoleh dari pengalaman dapat merespon stimulus tidaklah sama. Ada yang merespon secara positif dan ada yang merespon secara negative. Karyawan yang memiliki loyalitas tinggi akan memiliki sikap kerja yang positif. Sikap kerja yang positif meliputi :
1. kemauan untuk bekerja sama. Bekerja sama dengan orang-orang dalam suatu kelompok akan memungkinkan perusahaan dapat mencapai tujuan yang tidak mungkin dicapai oleh orang-orang secara individual.
2. rasa memiliki. Adanya rasa ikut memiliki karyawan terhadap perusahaan akan membuat karyawan memiliki sikap untuk ikut menjaga dan bertanggung jawab terhadap perusahaan sehingga pada akhirnya akan menimbulkan loyalitas demi tercpainya tjuan perusahaan.
3. hubungan antar pribadi. Karyawan yang mempunyai loyalitas karyawan tinggi mereka akan mempunyai sikap fleksibel kea rah tete hubungan antara pribadi. Hubungan antara pribadi ini meliputi : hubungan social diantara karyawan. Hubungan yang harmonis antara atasan dan karyawan, situasi kerja dan sugesti dari teman sekerja.
4. suka terhadap pekerjaan. Perusahaan harus dapat menghadapi kenyataan bahwa karyawannya tiap hari dating untu bekerja sama sebagai manusia seutuhnya dalam hal melakukan pekerjaan yang akan dilakukan dengan senang hati sebagai indikatornya bisa dilihat dari : kesanggupan karyawan dalam bekerja, karyawan tidak kpernah menuntut apa yang diterimanya di luar gaji pokok.

Aspek-aspek loyalitas diatas, baik yang merupakan proses psikologis individu maupun dalam pekerja tersebut diatas akan sering mempengaruhi untuk membentuk loyalitas, yaitu dorongan yang kuat untuk tetap menjadi anggota perusahaan, kepercayaan yang pasti, penerimaan penuh atas nilai-nilai perusahaan perusahaan, taat pada praturan yang berlaku rasa tanggung jawab yang tinggi dan sikap kerja yang positif. Apa bila hal-hal tersebut dapat terpenuhi dan dimiliki oleh karyawan, maka niscaya karyawan tersebut akan memiliki loyalitas yang tinggi sesuai dengan harapan perusahaan.

Faktor yang mempengaruhi loyalitas kerja
Loyalitas kerja akan tercipta apa bila karyawan merasa trcukupi dalam memenuhi kebutuhan hidup dari pekerjaannya, sehingga meraka betah bekerja dalam suatu perusahaan. Yuliandri (dalam Kadarwati,2003) menegaskan bahwa factor-faktor yang mempengaruhi loyalitas karyawan adalah adanya fasilitas-fasilitas kerja, tinjauan kesejahteraan, suasana kerja seta upah yang diterima dari perusahaan.
Selanjutnya Steers & Porter (1983) menyatakan bahwa timbulnya loyalitas kerja dipengaruhi oleh :
a. karaktersitik pribadi, merupakan factor yang menyangkut karyawan itu sendiri yang meliputi usia, masa kerja, jenis kelamin, tingkat pendidikan prestasi yang dimiliki, ras dan sifat kepribadian.
b. Karakteristik pekerjaan, menyangkut pada seluk beluk perusahaan yang dilakukan meliputi tantangan kerja, job stress, kesempatan untuk berinteraksi social, job enrichment, identifikasi tugas, umpan balik dan kecocokan tugas. Penyesuaian diri termasuk kedalam proses interaksi social, dijmana seorang karyawan dituntut untuk dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan tempat kerjanya berada meliputi semua elemen pendukung perusahaan, terutama dengan sumber daya manusia.
c. Karakteristik desain perusahaan, menyangkut pada interen perusahaan itu yang dapat dilihat dari sentralisasi, tingkat formalitas, tingkat keikutsertaan dalam pengambilan keputusan, paling tidak telah mengajukan berbagai tingkat asosiasi dengan tanggung jawab perusahaan. Keetergantungan fungsional maupun fungsi control perusahaan.
d. Pengalaman yang diperoleh dari perusahaan, yaitu internalisasi individu terhadap perusahaan setelah melaksanakan pekerjaan dalam perusahaan sehingga menimbulkan rasa aman, merasakan adanya keputusan pribadi yang dipenuhi oleh perusahaan.
Berdasarkan factor-faktor yang telah diungkap diatas dapat dilihat bahwa masing-masing factor mempunyai dampak tersendiri bagi kelangsungan hidup perusahaan, sehingga tuntutan loyalitas yang diharapkan oleh perusahaan baru dapat terpenuhi apabila karyaawn memiliki karakteristik seperti yang diharapkan dan perusahaan sendiri telah mampu memenuhi harapan-harapan karyawan, sehingga dapat disimpulkan bahwa factor yang mempengaruhi loyalitas tersebut meliputi : adanya fasilitas-fasilitas kerja,tunjangan kesejahteraan, suasana kerja upah yang diterima, karakteristik pribadi individu atau karyawan, karakteristik pekerjaan, karakteristik disain perusahaan dan pengalaman yang diperolah selama karyawan menekuni pekerjaan itu.

cara meningkatkan loyalitas kerja.
Anoraga dan widiyanti (1993) mengemukakan ada beberapa cara yang dapat ditempuh untuk meningkatkan loyalitas kerja, yaitu :
1. hubungan yang erat antar karyawan
2. saling keterbukaan dalam hubungan kerja
3. saling pengertian antara pimpinan dan karyawan
4. memperlakukan karyawan tidak sebagai buruh, tetapi sebagai rekan kerja
5. pimpinan berusaha menyelami pribadi karyawan secara kekeluargaan
6. rekeasi bersama seluruh anggota perusahaan

martoyo (1987) mengemukakan bahwa perhatian terhadap karir individual dalam perencanaan karir yang telah ditetapkan, penilaian prestasi kerja baik tertib dan benar serta pemberian upah akan dapat meningkatkan loyalitas karya pada perusahaan dimana mereka bekerja, Gilsbert (Kadarwati,2003) berpendapat agar karyawan mempunyai loyalitas kerja yang tinggi pada perusahaan dengan jalan mengambil perhatian,memuji kemajuan, pemindahan, kenaikan upah, promosi jabatan, memeberitahukan kepada karyawan tentang apa yang terjadi pada perusahaan, membiarkannya mengerti bagaimana bekerja dengan baik serta mau mendengarkan keluhan para karyawan.

Kecerdasan Spiritual

Sinotar (2001) mendefinisikan kecerdasan spiritual sebagai pemikiran yang terilhami. Kecerdasan ini diilhami oleh dorongan dan efektifitas, keberadaan atau hidup keilahian yang mempersatukan kita sebagai bagian-bagiannya. Sedangkan Khavari (dalam Zohar dan Marshall, 2001) berpendapat bahwa kecerdasan spiritual adalah fakultas dari dimensi non material kita ruh manusia.

Menurut Zohar dan Marshall (2001) kecerdasan spiritual adalah kecerdasan untuk menghadapi dan memecahkan persoalan makna dan nilai yaitu kecerdasan untuk menempatkan perilaku dan hidup kita dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya, kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup orang lebih bermakna dibandingkan orang lain.

Kecerdasan spiritual memberi kita kemampuan membedakan kecerdasan spiritual memberi kita rasa moral, kemampuan menyesuaikan aturan yang kaku, dibarengi dengan pemahaman dan cinta serta kemampuan setara untuk melihat kapan cinta dan pemahaman sampai pada batasannya. Kita menggunakan kecerdasan spiritual untuk bergulat dengan ihwal baik dan jahat, serta untuk membayangkan kemungkinan yang belum terwujud untuk bermimpi, bercita-cita, dan mengangkat diri kita dari kerendahan.
Agustian (2001) kecerdasan spiritual adalah kemampuan untuk memberi makna ibadah terhadap setiap perilaku dan kegiatan, melalui langkah-langkah dan pemikiran yang bersifat fitrah, menuju manusia yang seutuhnya (hanif) dan memiliki pola pemikiran tauhidi (integralistik) serta berprinsip hanya kepada Allah.
Kesimpulannya bahwa kecerdasan spiritual adalah kecerdasan yang berasal dari dalam hati, menjadikan kita kreatif ketika kita dihadapkan pada masalah pribadi, dan mencoba melihat makna yang terkandung di dalamnya, serta menyelesaikannya dengan baik agar memperoleh ketenangan dan kedamaian hati. Kecerdasan spiritual membuat individu mampu memaknai setiap kegiatannya sebagai ibadah, demi kepentingan umat manusia dan Tuhan yang sangat dicintainya.

Prinsip kecerdasan spiritual
Agustina (2001) dalam bukunya menuliskan adanya 6 prinsip dalam kecerdasan spiritual berdasarkan rukun iman, yaitu :
a) Prinsip bintang (star prinsiple) berdasarkan iman kepada Allah SWT.
Yaitu kepercayaan atau keimanan kepada Allah SWT. Semua tindakan hanya untuk Allah, tidak mengharap pamrih dari orang lain dan melakukannya sendiri.
b) Prinsip malaikat (angel principle) berdasarkan iman kepada Malaikat.
Semua tugas dilakukan dengan disiplin dan sebaik-baiknya sesuai dengan sifat malaikat yang dipercaya oleh Allah untuk menjalankan segala perintah-Nya.
c) Prinsip kepemimpinan (leadership principle), berdasarkan iman kepada rasul.
Seorang pemimpin harus memiliki prinsip yang teguh, agar mampu menjadi pemimpin yang sejati. Seperti halnya Rasullullah SAW, seorang pemimpin sejati yang dihormati oleh semua orang.
d) Prinsip pembelajaran (learning principle) berdasarkan iman kepada kitab.
Suka membaca dan belajar untuk menambah pengetahuan dan mencari kebenaran yang hakiki. Berpikir kritis terhadap segala hal dan menjadikan Al-Qur’an sebagai pedoman dalam bertindak.
e) Prinsip masa depan (visim principle) berdasarkan iman kepada hari akhir.
Berorientasi terhadap tujuan, baik jangka pendek, jangka menengah maupun jangka panjang. Semua itu karena keyakinan akan adanya hari kemudian dimana setiap individu akan mendapat balasan terhadap setiap tindakan yang dilakukan.
f) Prinsip keteraturan (well organized principle) berdasarkan iman kepada Qodlo dan Qodar
Setiap keberhasilan dan kegagalan, semua merupakan takdir yang telah ditentukan oleh Allah. Hendaknya berusaha dengan sungguh-sungguh dan berdoa kepada Allah.

Ciri-ciri kecerdasan spiritual
Berdasarkan teori Zohar dan Marshall (2001) dan Sinetar (2001) sebagai berikut :
a. Mempunyai kesadaran diri. Adanya tingkat kesadaran yang tinggi dan mendalam sehingga bisa menyadari antuasi yang datang dan menanggapinya.
b. Mempunyai visi. Ada pemahaman tentang tujuan hidupnya, mempunyai kualitas hidup yang diilhami oleh visi dan nilai-nilai.
c. Fleksibel. Mampu bersikap fleksibel, menyesuaikan diri secara spontan dan aktif untuk mencapai hasil yang baik, mempunyai pandangan yang pragmatis (sesuai kegunaan) dan efisien tentang realitas.
d. Berpandangan holistik. Melihat bahwa diri sendiri dan orang lain saling terkait dan bisa melihat keterkaitan antara berbagai hal. Dapat memandang kehidupan yang lebih besar sehingga mampu menghadapi dan memanfaatkan serta melampaui, kesengsaraan dan rasa sehat serta memandangnya sebagai suatu visi dan mencari makna dibaliknya.
e. Melakukan perubahan. Terbuka terhadap perbedaan, memiliki kemudahan untuk bekerja melawan konvensi dan status quo, menjadi orang yang bebas merdeka.
f. Sumber inspirasi. Mampu menjadi sumber inspirasi bagi orang lain, mempunyai gagasan-gagasan yang segar dan aneh.
g. Refleksi diri, mempunyai kecenderungan apakah yang mendasar dan pokok.


Faktor-faktor yang mendukung kecerdasan spiritual
Menurut Sinetar (2001) otoritas intuitif, yaitu kejujuran, keadilan, kesamaan perlakuan terhadap semua orang, mampunyai faktor yang mendorong kecerdasan spiritual. Suatu dorongan yang disertai oleh pandangan luas tentang tuntutan hidup dan komitmen untuk memenuhinya.
Faktor-faktor yang mempengaruhi kecerdasan spiritual menurut Agustian (2003) adalah inner value (nilai-nilai spiritual dari dalam) yang berasal dari dalam diri (suara hati), seperti transparency (keterbukaan), responsibilities (tanggung jawab), accountabilities (kepercayaan), fairness (keadilan) dan social wareness (kepedulian sosial). Faktor kedua adalah drive yaitu dorongan dan usaha untuk mencapai kebenaran dan kebahagiaan.

Zohar dan Marshall (2001) mengungkapkan ada beberapa faktor yang mempengaruhi kecerdasan spiritual yaitu :
a. Sel saraf otak
Otak menjadi jembatan antara kehidupan bathin dan lahiriah kita. Ia mampu menjalankan semua ini karena bersifat kompleks, luwes, adaptif dan mampu mengorganisasikan diri. Menurut penelitian yang dilakukan pada era 1990-an dengan menggunakan WEG (Magneto – Encephalo – Graphy) membuktikan bahwa osilasi sel saraf otak pada rentang 40 Hz merupakan basis bagi kecerdasan spiritual.
b. Titik Tuhan (God spot)
Dalam peneltian Rama Chandra menemukan adanya bagian dalam otak, yaitu lobus temporal yang meningkat ketika pengalaman religius atau spiritual berlangsung. Dia menyebutnya sebagai titik Tuhan atau God Spot. Titik Tuhan memainkan peran biologis yang menentukan dalam pengalaman spiritual. Namun demikian, titik Tuhan bukan merupakan syarat mutlak dalam kecerdasan spiritual. Perlu adanya integrasi antara seluruh bagian otak, seluruh aspek dari dan seluruh segi kehidupan.

Aspek-aspek dalam kecerdasan spiritual
Sinetar (2001) menuliskan beberapa aspek dalam kecerdasan spiritual, yaitu :
a. Kemampuan seni untuk memilih, kemampuan untuk memilih dan menata hingga ke bagian-bagian terkecil ekspresi hidupnya berdasarkan suatu visi batin yang tetap dan kuat yang memungkinkan hidup mengorganisasikan bakat.
b. Kemampuan seni untuk melindungi diri. Individu mempelajari keadaan dirinya, baik bakat maupun keterbatasannya untuk menciptakan dan menata pilihan terbaiknya.
c. Kedewasaaan yang diperlihatkan. Kedewasaan berarti kita tidak menyembunyikan kekuatan-kekuatan kita dan ketakutan dan sebagai konsekuensinya memilih untuk menghindari kemampuan terbaik kita.
d. Kemampuan mengikuti cinta. Memilih antara harapan-harapan orang lain di mata kita penting atau kita cintai.
e. Disiplin-disiplin pengorbanan diri. Mau berkorban untuk orang lain, pemaaf tidak prasangka mudah untuk memberi kepada orang lain dan selalu ingin membuat orang lain bahagia.

Menurut Buzan (2003) ada sepuluh aspek-aspek dalam kecerdasan spiritual yaitu mendapatkan gambaran menyeluruh tentang jagad raya, menggali nilai-nilai, visi dan panggilan hidup, belas kasih, memberi dan menerima, kekuatan tawa, menjadi kanak-kanak kembali, kekuatan ritual, ketentraman, dan cinta

Selasa, 10 April 2012

AWALNYA DARI PIKIRAN


Sebenarnya kita mempunyai pengetahuan dan kemampuan secara rohaniah/batiniah sebagai bekal untuk menghadapi bebagai tantangan dalam menjalani kehidupan.

Namun kemampuan yang ada dalam diri kta ini tidak pernah digali dan dikembangkannya. Akibatnya, bilamana kita mendapatkan kesulitan, kecemasan dan kegelisahan dibiarkan mendera diri kita sendiri sampai akhirnya menyebabkan pikiran kita sakit dan stress.

Bilamana “pikiran” kita dalam keadaan tenang, kemampuan dan potensi yang ada di dalam diri kita ini sebenarnya dapat difungsikan.
Memerdekakan “pikiran” adalah salah satu perjalanan untuk membersihkan masalah-masalah yang ada di dalam “pikiran” kita.

Diri kita sering dipermainkan oleh “pikiran” kita sendiri. Pikiran kita secara liar bermain kesana-kemari membuat rencana-rencana, membuat cita-cita, membuat mimpi-mimpi, yang semuanya itu hanyalah angan-angan yang belum tentu dapat dicapai. Malah angan-angan tersebut sangat mengganggu pada “pikiran” kita sendiri.

Pikiran sangat penting bagi gerak-hidup jasmani, karena pikiranlah yang menggerakan jasmani kita; namun, "pikiran" ini harus dapat kita kendalikan dengan baik. Jika "pikiran" ini dibiarkan bebas (liar), maka “pikiran”ini akan bermain kesana-kemari tanpa terkendali. Pikiran adalah wadah dari semua masalah-masalah pada saat ini, atau masalah-masalah pada masa lalu yang terjadi dan terekam oleh otak.
Fungsi "pikiran" manusia sebagai wadah masalah sangatlah terbatas kapasitasnya; maka, untuk dapat memfungsikan “pikiran” sesuai dengan kapasitasnya,"pikiran" tersebut jangan terlalu banyak menyimpan masalah-masalah.
Dengan jalan “memerdekakan pikiran” (menenangkan pikiran) kita dapat memfungsikan “pikiran” dengan baik dan bermoral. Bekerjasamalah antara “rohani” dan“jasmani” dalam mengendalikan "pikiran". Dan bilamana “rohani” dan “jasmani” dapat bekerjasama dengan baik, maka "pikiran" kita tidak akan terganggu oleh hal-hal yang negatif.

Senin, 09 April 2012

Stres dan Penanggulangannya


Hidup manusia ditandai oleh usaha-usaha pemenuhan kebutuhan, baik fisik, mental-emosional, material maupun spiritual. Bila kebutuhan dapat dipenuhi dengan baik, berarti tercapai keseimbangan dan kepuasan. Tetapi pada kenyataannya seringkali usaha pemenuhan kebutuhan-kebutuhan tersebut mendapat banyak rintangan dan hambatan.

Tekanan-tekanan dan kesulitan-kesulitan hidup ini sering membawa manusia berada dalam keadaan stress. Stress dapat dialami oleh segala lapisan umur.

Stress dapat bersifat fisik, biologis dan psikologis. Kuman-kuman penyakit yang menyerang tubuh manusia menimbulkan stress biologis yang menimbulkan berbagai reaksi pertahanan tubuh. Sedangkan stress psikologis dapat bersumber dari beberapa hal yang dapat menimbulkan gangguan rasa sejahtera dan keseimbangan hidup.

SUMBER STRESS

Sumber stress dapat digolongkan dalam bentuk-bentuk:

1. Krisis

Krisis adalah perubahan/peristiwa yang timbul mendadak dan menggoncangkan keseimbangan seseorang diluar jangkauan daya penyesuaian sehari-hari. Misalnya: krisis di bidang usaha, hubungan keluarga dan sebagainya.

2. Frutrasi

Frustrasi adaah kegagalan dalam usaha pemuasan kebutuhan-kebutuhan/dorongan naluri, sehingga timbul kekecewaan. Frutrasi timbul bila niat atau usaha seseorang terhalang oleh rintangan-rintangan (dari luar: kelaparan, kemarau, kematian, dan sebagainya dan dari dalam: lelah, cacat mental, rasa rendah diri dan sebagainya) yang menghambat kemajuan suatu cita-cita yang hendak dicapainya.

3. Konflik

Konflik adalah pertentangan antara 2 keinginan/dorongan yaitu antara kekuatan dorongan naluri dan kekuatan yang mengenalikan dorongan-dorongan naluri tersebut.

4. Tekanan

Stress dapat ditimbulkan tekanan yang berhubungan dengan tanggung jawab yang besar yang harus ditanggungnya. (Dari dalam diri sendiri: cita-cita, kepala keluarga, dan sebagainya dan dari luar: istri yang terlalu menuntut, orangtua yang menginginkan anaknya berprestasi).

AKIBAT STRESS

Akibat stress tergantung dari reaksi seseorang terhadap stress. Umumnya stress yang berlarut-larut menimbulkan perasaan cemas, takut, tertekan, kehilangan rasa aman, harga diri terancam, gelisah, keluar keringat dingin, jantung sering berdebar-debar, pusing, sulit atau suka makan dan sulit tidur). Kecemasan yang berat dan berlangsung lama akan menurunkan kemampuan dan efisiensi seseorang dalam menjalankan fungsi-fungsi hidupnya dan pada akhirnya dapat menimbulkan berbagai macam gangguan jiwa.

REAKSI TERHADAP STRESS

Reaksi seseorang terhadap stress berbeda-beda tergantung dari:
1. Tingkat kedewasaan kepribadian
2. Pendidikan dan pengalaman hidup seseorang

Reaksi psikologis yang mungkin timbul dalam menghadapi stress:
1. menghadapi langsung dengan segala resikonya.
2. menarik diri dan tak tahu menahu tentang persoalan yang dihadapinya/lari dari kenyataan.
3. menggunakan mekanisme pertahanan diri.

PENANGGULANGAN STRESS

Mengenal dan menyadari sumber-sumber stress.

Membina kedewasaan kepribadian melalui pendidikan dan pengalaman hidup.

Mengembangan hidup sehat. Antara lain dengan cara: merasa cukup dengan apa yang dimilikinya, tidak tergesa-gesa ingin mencapai keinginannya, menyadari perbedaan antara keinginan dan kebutuhan, dan sebagainya.

Mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa untuk segala sesuatu yang terjadi dengan tetap beriman kepadaNYa.

Minta bimbingan kepada sahabat dekat, orang-orang yang lebih dewasa, psikolog, orang yang dewasa rohaninya, dan sebagainya).

Hindarkan sikap-sikap negatif antara lain: memberontak terhadap keadaan, sikap apatis, marah-marah. Hal-hal tersebut tidak menyelesaikan masalah tetapi justru membuka masalah baru.

Selamat mencoba ..........